Rabu, 19 Agustus 2020

Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap Portugis dan Belanda

Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak. Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore. Semua ini tidak terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan dan menanamkan kekuasaannya di Maluku. Mereka sering memanfaatkan kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang membuat perpecahan di lingkungan istana.

Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.
Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera diakhiri. Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian damai antara Portugis dan Spanyol. Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina. Dengan demikian setelah ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.
Perjanjian Saragosa ditandatangani pada tanggal 22 April 1529. Ini merupakan perjanjian antara Spanyol dan Portugis untuk menentukan bahwa bumi bagian timur dibagi dua kerajaan. Perjanjian Saragosa terjadi karena pertikaian bangsa Spanyol dengan bangsa Portugi di Maluku, pertikaian ini disebabkan kedua belah pihak ingin monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Maluku.

Isi Perjanjian Saragosa;
  1. Bumi dibagi atas dua pengaruh, yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
  2. Wilayah kekuasaan Spanyol membentang dari Mexico ke arah barat sampai kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazillia ke arah timur sampai kepulauan Maluku.daerah disebelah utara garis saragosa adalah penguasaan portugis.
Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap. Tindakan yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.

Setelah Sultan Khaerun wafat, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon. Pada tahun1605 Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.

Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat. Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi seperti di Jailolo. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.

Apa yang dimaksud Pelayaran Hongi dan bagaimana praktik kebijakan monopoli rempah-rempah oleh VOC di Maluku?
Pelayaran Hongi atau Ekspedisi Hongi atau Hongitochten adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan zaman VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah termasuk Hak Ekstirpasi yaitu hak memusnahkan pohon Pala atau Cengkeh, demi mengekalkan monopoli Rempah-Rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya. (wikipedia).

Dalam aturannya Pemerintah VOC membuat perjanjian dengan raja, patih, dan orang kaya pemimpin Negeri-negeri agar mereka mengijinkan adanya pemusnahan tanaman Cengkeh serta Pala di wilayahnya. Mereka juga diwajibkan menyediakan kora-kora serta pendayungnya untuk berlayar ke negeri atau pulau lain. Untuk semua kegiatan itu maka Kepala Negeri tersebut mendapatkan sejumlah ganti rugi.

Tetapi pada kenyataannya, karena maraknya Korupsi dikalangan pegawai VOC dan kepala-kepala negeri, rakyat tidak pernah mendapatkan apa-apa. Ketika perkebunan mereka dimusnahkan dengan api, parang, dan kapak, rakyat hanya bisa meratapi semua hasil kerja kerasnya. 
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai  sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera.

Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat. Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan laut Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram Timur. Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada Inggris (EIC). Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).